Tulisan ini sudah lama sekali tersimpan di draf. Sekian kali dikurangi, ditambah, disimpan, dikurangi lagi, ditambah lagi, disimpan lagi. Baru hari ini saya punya keberanian menekan tombol tayang. Seperti baru kemarin, padahal kejadiannya sudah hampir tiga tahun yang lalu.
Mengapa melepas jilbab?
Beberapa teman, tanpa konfirmasi lebih dulu, berinisiatif “menjawab” pertanyaan ini lewat pesan pribadi di facebook. Sebagian besar yang menyapa adalah teman yang sudah lebih sepuluh tahun tak saya jumpai.
“Kamu punya masalah ya? Aku ada di sini kalau kamu mau cerita ya.”
“Rere kamu kenapa? Ada masalah keluarga?”
Beberapa lagi melemparkan pertanyaan, tapi gagal dapat jawaban yang “layak” dari saya.
“Boleh tau kenapa buka jilbab?”
“Sekarang ga pake hijab lagi ya? Kenapa?”
dan beragam pertanyaan lain dengan nada yang serupa.
Okelah, meskipun saya tidak punya kewajiban untuk menjelaskan mengapa saya melepas jilbab, jadi begini…
Saya berjilbab jauh sebelum jilbab jadi tren. Waktu itu mamak sangat marah dan khawatir anaknya nanti tidak mendapat pekerjaan yang layak karena berkerudung. Dulu, tidak ada teller bank yang berkerudung, tidak ada pembawa berita di televisi yang berkerudung, dan seingat saya tidak ada satupun profesi yang secara terbuka menerima perempuan berkerudung selain sebagai ustadzah dan guru sekolah. Kalau mengingat kondisi saat itu, wajar mamak marah, tapi ya saya diam saja.
Dalam berkerudung saya juga sudah melalui banyak fase. Fase kerudung sampai pinggang, fase kerudung menutup dada, fase kerudung di atas dada, fase kerudung dililit di leher, fase kerudung polos dua lapis, fase kerudung katun satu lapis, fase kerudung sutra transparan, dan fase kerudung motif warna-warni.
Melepas jilbab bukan keputusan yang muncul dari pemikiran satu hari. Prosesnya tidak mudah. Jilbab sudah menemani saya hampir 16 tahun, melewati masa abege, masa pacaran, waktu menikah, dan beranak.
Lalu, pada suatu hari, lima tahun lalu, satu pertanyaan menyelusup benak. Apa jadinya saya tanpa kerudung?
Dan saya tidak bisa menemukan jawabannya.
Saya tidak ingat sejak kapan pertanyaan itu kemudian jadi mengganggu. Pertanyaan yang membuat saya lalu memikirkan banyak sekali keputusan semasa hidup.
Bagaimana jika?
Apakah saya?
Lewat setahun bertanya-tanya, saya jadi ingin sekali mengenal diri sendiri dalam versi “yang lain”.
Dan, versi itu kemudian saya wujudkan.
Saat mulai muncul tanpa kerudung di sini dan di sana, saya tau sebagian orang akan bertanya langsung (entah karena peduli atau sekadar penasaran), sebagian lagi mungkin kasak-kusuk di belakang, sebagian cuma “ohhh” saja, dan banyak orang yang tak acuh. Apapun reaksi yang muncul, saya berusaha untuk siap.
Tapi, ketika itu terjadi, saya menemukan fakta, ternyata saya tidak nyaman dan malas sekali menjawab pertanyaan yang masuk. Begini, sebenarnya lebih ke, merasa akan sia-sia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya saja butuh waktu dua tahun untuk merasa pasti pada keputusan ini. Jadi, tidak mungkin satu-dua kalimat dari saya akan memuaskan dahaga yang bertanya. Latar belakang pengambilan keputusannya memang cukup sulit diterima, dan tidak apa-apa kalau tidak diterima.
Khusus beberapa teman dekat yang bertanya lewat whatsapp, saya melayani dengan sepenuh hati. Dari banyak percakapan, dapat disimpulkan, sepertinya saya memilih teman yang tepat, karena mereka menerima tanpa drama. Satu pertanyaan dari teman dekat yang paling saya ingat adalah: “Nanti bajunya ga langsung yang pendek-pendek itu, kan?”
Jawabannya, tidak.
Saya cukup terikat dengan jilbab. Selayaknya perpisahan, pada awalnya terasa gamang. Saya masih menggunakan baju lengan panjang dan celana/rok panjang. Saya juga tidak nyaman saat bagian leher terbuka. Saya lebih sering menggelung rambut saat keluar rumah karena hanya cara itu yang saya pahami untuk menata rambut selama 16 tahun belakangan.
Mendapati sekian banyak pengalaman yang kurang nyaman, saya pribadi merasa puas telah memberikan kebebasan pada diri sendiri untuk memilih. Rasanya seperti menggenggam kembali kendali hidup. Hidup saya, keputusan saya. Saya nakhodanya, dan percayalah, tak pernah ada nakhoda yang mau menenggelamkan kapalnya sendiri.
Saya baik-baik saja.